Adolfina dan Perjuangan Perempuan Papua

Redaksi
0

 


Adolfina Kuum biasa dipanggil Dolli, perempuan Amungme, Papua dan pendiri komunitas peduli lingkungan Lapemawi. Komunitas ini menaungi perempuan, masyarakat adat, anak sekolah, sampai anak jalanan di Papua.

Dolli memandang Tanah Air sebagai situasi, kondisi, dan keadaan kampung atau dusun yang mereka tempati awal mereka lahir. Suku Amungme, Kamoro, dan bahkan seluruh rakyat Papua memiliki filosofi yang mereka genggam erat, yaitu “tanah memiliki simbol seorang “Mama”, yang berarti bahwa tanah mampu memberikan kehidupan, melahirkan, membesarkan, dan memberi makan selayaknya peran ibu dalam keluarga. Sedangkan Air bagi suku Kamoro di pesisir merupakan sumber kehidupan”.

Asing di tanah kelahiran dan Pengabaian Suara Perempuan

Sudah lebih dari 50 tahun PT. Freeport mengeksploitasi emas yang rakyat Papua miliki. Perasaan itulah yang dirasakan masyarakat suku Amungme dan Kamoro, masyarakat asli wilayah gunung emas. Hal ini dikarenakan kegiatan pertambangan di gunung emas Timika, Papua itu dilakukan tanpa sepengetahuan suku-suku asli wilayah tersebut. Dolli mengatakan “Pemerintah akan menjalankan kegiatan sesuai dengan regulasi yang mereka miliki dan tak jarang pemerintah menggunakan regulasinya untuk menjajah dan menghancurkan masyarakat adat”.

Mereka akan dijaga ketat saat berpergian di sekitar wilayah tambang yang sebelumnya merupakan tempat mereka tinggal. Itu bukan petugas keamanan biasa. Di Timika, Brimob, Polisi, bahkan Tentara lah yang mengawasi mereka. Untuk rakyat Papua yang memiliki kebun dan ingin mengurusnya, mereka harus melalui penjagaan dan pengawasan. Bahkan bagi Dolli yang berani vokal berpendapat mengenai kondisi lingkungan yang rakyat Papua rasakan, terror merupakan hal yang biasa mereka dapatkan.

Kelompok perempuan selalu jadi bagian yang terlupakan dalam diskusi pengambilan keputusan kesepakatan perluasan wilayah pertambangan. Budaya patriarki di Papua masih sangat kental dan mengakar dalam masyarakat adat. Salah satu dampak pertambangan adalah krisis air pada 3 distrik (Jita, Agimuga dan Mimika Timur). Warga kesulitan air  karena sungai Ajikwa dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah tailing oleh perusahaan. Akibatnya Desa Pasir Hitam dikepung limbah tailing dan membuat tanaman mengering dan ikan-ikan di sungai mati. Pada 2018 di wilayah pesisir, Mama-mama mengeluhkan tidak bisa punya anak akibat penyakit kista, masyarakat mengalami gangguan pernapasan dan gatal. Serta masyarakat yang harus diungsikan ke wilayah yang lebih panas karena perusahaan melakukan ekspansi area pertambangan. Untuk melakukan “Penggusuran” masyarakat tak jarang menimbulkan konflik saat warga dipaksa keluar dari kampung halaman mereka. Mama-mama dan anak anak lah yang menjadi korban. “Kami hanya bicara masalah lingkungan agar pemerintah dapat melihat (situasi sebenarnya yang terjadi di Papua)” pungkas  Dolli saat menceritakan pengalamannya.

Perempuan dan perjuangan mempertahankan tanah kelahiran

Mama Yosepha Alomang merupakan penggagas pertama gerakan perempuan melawan tambang PT Freeport, Perjuangan itulah yang diteruskan Dolli dan kawan-kawannya di komunitas Lapemawi. Mereka melakukan riset, dokumentasi serta sosialisasi kepada masyarakat. Tak jarang melakukan tindakan mendesak berupa bantuan bagi pengungsi dan melakukan negosiasi serta mediasi kepada perusahaan PT Freeport, Pemerintah dan juga Lembaga adat yang ada. Mereka ingin tanah itu terjaga dengan baik. Karena rakyat Papua tidak bisa hidup tanpa sagu, tanpa sungai dan sampan. Jangan sampai hal tersebut hilang dari tanah Papua.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)